Rancangan Undang-Undang atau RUU Nomor 32 tahun 2022 tentang Penyiaran yang saat ini dibahas di DPR, menuai polemik. Sebab, ada aturan yang dianggap keblinger karena melarang penayangan liputan investigasi.

Pasal tersebut berpotensi mengancam kebebasan pers di RUU Penyiaran. Larangan menayangkan produk jurnalisme investigasi itu termaktub di Pasal 50B. Berikut bunyi pasal tersebut:

Selain memuat panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai:

a. Isi Siaran dan Konten Siaran terkait narkotika, psikotropika, zat adiktif, alkohol, dan perjudian;

b. Isi Siaran dan Konten Siaran terkait rokok;

c. penayangan eksklusif jurnalistik investigasi;

d. penayangan suatu profesi atau tokoh yang memiliki perilaku atau gaya hidup negatif yang berpotensi ditiru oleh masyarakat;

e. penayangan aksi kekerasan dan/atau korban kekerasan;

f. penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung unsur mistik;

g. penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual,biseksual, dan transgender;

h. penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran pengobatan supranatural;

i. penayangan rekayasa negatif informasi dan hiburan melalui Lembaga Penyiaran dan Penyelenggara Platform Digital Penyiaran;

j. menyampaikan Isi Siaran dan Konten Siaran yang secara subjektif menyangkut kepentingan politik yang berhubungan dengan pemilik dan/atau pengelola Lembaga Penyiaran dan Penyelenggara Platform Digital Penyiaran; dan

k. penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan,pencemaran nama baik, penodaan agama,kekerasan, dan radikalisme-terorisme.

Sangat Keblinger

Mantan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyoroti draf revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran yang berpotensi melarang produk jurnalistik investigasi. Ia menilai, RUU itu merupakan satu kekeliruan karena tugas jurnalis justru melakukan investigasi.

Mahfud menegaskan sebuah media akan menjadi hebat jika memiliki jurnalis-jurnalis yang bisa melakukan investigasi. Karenanya, ia mengkritik pembahasan revisi terhadap UU Penyiaran itu yang berpotensi melarang produk jurnalistik investigasi.

"Kalau itu sangat keblinger: masa media tidak boleh investigasi, tugas media itu ya investigasi hal-hal yang tidak diketahui orang. Dia akan menjadi hebat media itu kalau punya wartawan yang bisa melakukan investigasi mendalam dengan berani," kata Mahfud.

Sebuah media, kata Mahfud, akan menjadi hebat jika memiliki jurnalis-jurnalis yang mampu melakukan investigasi. Dia pun mengkritik pembahasan revisi terhadap UU Penyiaran itu yang berpotensi melarang produk jurnalistik investigasi.

"Kalau itu sangat keblinger, masa media tidak boleh investigasi, tugas media itu ya investigasi hal-hal yang tidak diketahui orang. Dia akan menjadi hebat media itu kalau punya wartawan yang bisa melakukan investigasi mendalam dengan berani," kata Mahfud.

Dewan Pers dengan tegas menolak revisi Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 karena mandat penyelesaian sengketa kerja-kerja jurnalistik dialihkan ke Komisi Penyiaran Indonesia.

"Penyelesaian (sengketa pers) itu justru akan dilakukan oleh lembaga yang sebenarnya tidak punya mandat penyelesaian etik terhadap karya jurnalistik," ungkap Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu.

Menurut Ninik, dalam Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, sangat jelas jika sengketa pers ditangani oleh Dewan Pers. Sebab, Dewan Pers adalah lembaga independen yang dimandatkan untuk mengatur dan menilai sengketa pers secara mandiri tanpa campur tangan politik kekuasaan.

"Mandat penyelesaian karya jurnalistik itu ada di Dewan Pers dan itu dituangkan dalam Undang-undang. Oleh karena itu penolakan ini didasarkan pada ketika penyusunan peraturan perundang-undangan perlu juga dilakukan harmonisasi agar antara satu undang-undang dengan yang lain tidak tumpang tindik," imbuh dia.

Di sisi lain, penolakan yang dinyatakan Dewan Pers juga dilatarbelakangi adanya pasal yang melarang penayangan hasil karya jurnalistik investigasi. Penolakan yang digaungkan juga terkait dengan proses revisi UU Penyiaran yang dinilai menyalahi aturan karena tidak melibatkan insan pers dan masyarakat secara luas.

"Ini menyalahi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91 PUU 18 Tahun 2020 bahwa penyusunan sebuah regulasi harus meaningfull participation," tandasnya.

Ancam Kebebasan Pers

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyatakan, draf revisi UU Penyiaran berpotensi mengancam kemerdekaan pers. Dalam Pasal 50B ayat 2 huruf c menyebutkan larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Nani Afrida menyatakan, karya jurnalisme investigasi bukan karya sembarangan. Sebab, dibuat sesuai etik, mengandung nilai-nilai jurnalisme yang tinggi, dan sesuai UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

Dengan demikian, adanya pelarangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi justru aneh dan mengancam kemerdekaan pers.

"Sudah pasti mengancam (kemerdekaan pers), terkesan ada pembungkaman pers," tegas Nani.

AJI juga menyoroti Pasal 8A ayat 1 huruf q yang menyebutkan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran.

Padahal, lanjut Nani, penyelesaian sengketa jurnalistik seharusnya diselesaikan lewat Dewan Pers berdasarkan UU Pers. "Ini rancu dan overlapping antara wewenang Dewan Pers dan juga dengan KPI," sambung Nani.

Selain itu, AJI mengamati konsekuensi lain dari kewajiban produk jurnalisme penyiaran yang harus tunduk pada aturan Komisi Penyiaran Indonesia. Hal itu juga tumpang tindih dengan kewenangan dengan Dewan Pers.

DPR Buka Suara

Tubagus Hasanuddin Anggota Komisi I DPR RI, menyampaikan pasal yang menjadi pro kontra hadir karena adanya saran supaya penyiaran karya jurnalistik investigatif bisa dikontrol Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Alasannya, hasil investigasi jurnalis kadang beririsan dengan materi penyidikan yang sedang dilakukan aparat penegak hukum. Sehingga, khusus sengketa penyiaran nantinya diselesaikan KPI, dan produk jurnalistik tulisan oleh Dewan Pers.

“Kami di Komisi I DPR akan menampung semua masukan terkait polemik revisi UU Penyiaran. Mengenai adanya pro dan kontra, itu nanti akan kami bahas dan diskusikan di Badan Legislasi,” urai politikus PDIP itu.

Sementara Anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Penyiaran DPR RI, Nurul Arifin mengatakan, tidak ada niat membungkam kebebasan pers di Indonesia melalui revisi undang-undang tersebut.

"Tidak ada tendensi untuk membungkam pers dengan RUU Penyiaran ini," kata Nurul Arifin.

Politikus Golkar itu menerangkan, proses revisi tersebut masih berjalan dan belum final dan masih dimungkinkan untuk terjadi perubahan. Hal itu untuk menjawab sejumlah pasal yang mendapat kritik dalam draf RUU Penyiaran karena diduga bisa mengancam kebebasan pers.

"RUU yang beredar bukan produk yang final, sehingga masih sangat dimungkinkan untuk terjadinya perubahan norma dalam RUU Penyiaran,” tandas Nurul.